Dadakan ke Kampung Gajah

Baru teman saya memberi tahu kalau besok itu prei. Lhadalah, kok saya bisa lupa. Mungkin saya bukan orang yang cukup awas, karena libur saja bisa terlewat. Tetapi buat seorang pejalan lepas tentu perkara remeh untuk bikin khitah dadakan. Jadilah Bayu dan saya berangkat ke Kampung Gajah, wahana dolanan bocah di sebelah utara kota Bandung.

Kenapa dinamai Kampung Gajah? Saya juga kurang mafhum. Walau sama-sama kampung. Sama-sama di Jawa Barat pula. Yang jelas tidak ada hubungannya dengan Kampung Naga.

Bagi orang tua, Kampung Gajah mungkin bisa jadi arena “penitipan anak”. Utamanya mereka yang jengah karena punya anak hiperaktif. Anak-anak berlarian sana-sini mencoba berbagai wahana tanpa ngerepotin bapak-ibunya yang cuma mau istirahat setelah seharian ngubek-ubek factory outlet.

Sekarang pertanyaan besarnya adalah, apakah manusia pseudo-dewasa seperti kami berdua ini adalah bagian dari segmentasi pasar Kampung Gajah?

Ternyata iya! Jangan salah, di kampung ini banyak mainan yang jelas bukan buat anak-anak. Contohnya saya menghabiskan beberapa putaran di atas mobil balap yang lampunya sudah mulai lepas itu. Manuver dua-tiga kali di tikungan dengan kecepatan tinggi sudah cukup untuk membuat Bayu berurusan dengan petugas keamanan setempat.

Selain mobil balap ada permainan yang lebih membumi, lebih dekat ke bumi. Misalnya mainan sewujud kereta-keretaan yang jelas bukan membidik pasar usia kami. Atau bisa juga lebih melangit, lebih dekat ke langit. Misalnya duduk-duduk bareng om dan tante di kafe atas sambil menikmati kopi susu.

Memang liburan ke arena bermain semacam ini bukan porsinya jejak petualang. Namun setidaknya ini mengisyaratkan bahwa Bandung bukan hanya menawarkan factory outlet dan pemandangan alam. Untuk saya, yang jelas ini pilihan gampang kalau lagi males mikir mau ngapain mengisi liburan.