Gang kecil itu seakan menjadi abstraksi dari riuhnya pasar pagi di ulu Sungai Musi. Sunyi senyap hanya terlihat sekelompok pemuda asyik bermain-main senapan angin. Selebihnya adalah rumah-rumah tua berdinding kayu kedodoran dan sebuah taman tidak terawat berbalutan rumput liar yang tumbuh tinggi dengan sebuah pagoda kecil di tengah-tengahnya.
Tidak salah lagi, inilah Kampung Kapitan yang kami cari-cari sedari tadi.
Dalam situasi seperti ini, GPS boleh jadi sangat membantu meskipun bukan panasea. Pasalnya berbekal bantuan satelit pun kawasan ulu Sungai Musi terlihat seperti setumpuk perkampungan tanpa aturan. Beruntung kami dapat menemukan kampung bersejarah ini setelah mencoba menyusuri sejumlah gang sempit dalam kawasan Kampung 7 Ulu.
Meskipun sama-sama terletak di kawasan ulu Sungai Musi, Kampung Kapitan dan Kampung Arab berada pada sisi yang berlainan. Kedua kampung yang ditengarai sebagai pemukiman paling awal bagi pendatang Tiongkok dan Arab itu memang lambat laun menjelma menjadi aset historis Kota Palembang.
Tidak lama berselang pasca Kerajaan Sriwijaya runtuh, Dinasti Ming mengirimkan sejumlah ekspedisi maritim untuk menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Melayu, salah satunya Palembang. Dikarenakan tingginya volume perdagangan antara Palembang dengan Tiongkok, kaisar pun membangun sebuah perwakilan kantor dagang di Palembang. Salah satu kepala kantor dagang yang paling fenomenal adalah Liang Taow Ming, seorang pejabat Kekaisaran Tiongkok yang berada di bawah perlindungan armada Laksamana Cheng-Ho.
Masuknya pedagang-pedagang Tiongkok ke Palembang masa tersebut membuat perkawinan campur menjadi sangat umum di kota ini. Perlahan tetapi pasti, akulturasi budaya pun terjadi di bandar raya yang makmur ini. Kampung Kapitan yang berada tepat di seberang Benteng Kuto Besak inilah yang kemudian menjadi episentrum pemukiman dan perdagangan masyarakat Tionghoa.
Adapun nama Kampung Kapitan ditengarai berasal dari salah satu bangunan paling ikonik di perkampungan ini, yaitu Rumah Kapitan. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Tinghoa dikelompokkan secara terpisah dari masyarakat pribumi sebagai partner dagang Belanda. Untuk memudahkan perdagangan, Belanda memberikan pangkat Mayor seorang tokoh Tionghoa untuk menguasai wilayah ini, salah satunya adalah Kapten Tjoa Kie Cuan yang dilanjutkan oleh anaknya, Kapten Tjoa Ham Hin.
Rumah Kapten, atau Rumah Kapitan dalam istilah retro, terlihat muram dan lapuk. Tiga bangunan besar yang membentengi kampung ini kondisinya nampak memprihatinkan seakan-akan satu-satunya yang membuatnya belum rubuh adalah keajaiban Ilahi. Pada pagi itu hanya terlihat seorang kakek uzur yang berdiri di ambang tangga, wajahnya nampak lesu sementara di sisi belakangnya terlihat meja-meja merah terang yang nampaknya baru saja dipersiapkan untuk sebuah acara.
“Sedang ada acara, Kong?” tanya saya.
Dia menoleh dan hanya menjawab singkat, “Iya.”