Jamuan makan adalah perkara lumrah. Namun bagaimana rasanya dijamu pada bulan puasa, ketika tuan rumahnya sedang berpuasa? Saya terjebak dalam suasana canggung ini gara-gara keceplosan menyebut bahwa saya tidak berpuasa sewaktu berkunjung ke Lapeo. Akibatnya, sepiring penuh kue khas Mandar dihidangkan di hadapan hidung saya.
Putra lahir dan besar di Lapeo. Ini adalah rumah bibinya. Rumah yang terletak di poros Polewali-Majene ini berwujud rumah tradisional Mandar, dengan arsitektur panggung dan pintu masuk yang berada pada lantai dua. Tidak mengherankan apabila yang ada di rumah ini serba Mandar, termasuk kulinernya.
Ada pasoq, atau kue paku, yang dibuat dari ketan dan gula merah yang kemudian disimpan dalam wadah daun berbentuk kerucut. Ada pula kue taripang yang dinamai demikian karena bentuknya mirip hewan laut teripang. Menariknya hampir seluruh penganan-penganan ringan Mandar ini mempunyai komposisi gula merah, otomatis rasanya pun manis seperti makanan-makanan kecil di Jawa Tengah.
Sepulang dari kediaman si bibi, Putra dan saya melanjutkan perjalanan ke Polewali. Namun siapa sangka ketika tiba di rumahnya, kami kembali disuguhi kuliner Mandar. Namanya tetuq, atau kue perahu, mirip dengan pasoq namun menggunakan wadah berbentuk mirip perahu ditambah kuah gula kental.
Sore itu mereka, lagi-lagi, mengajak saya makan. Kali ini temanya berbuka puasa. Mau tidak mau, boleh tidak boleh, suka tidak suka, kunjungan saya ke Polewali Mandar ini adalah bagian dari proses perbaikan gizi selama perjalanan lintas Sulawesi. Malam itu Putra akan membawa saya bersantai di tepi pantai Kota Polewali bersama teman-temannya untuk, lagi-lagi, makan.