Gemerlap Malam Merauke

“Jadi tempat ini sudah tidak aman!” sedari tadi Gita nyerocos berusaha menjelaskan kepada Astrid dan saya untuk segera pulang daripada berkeliaran malam-malam, “Kemarin-kemarin tidak apa-apa, tetapi belakangan ini tidak aman. Tadi sore ada orang ditikam di belakang sana ketika naik sepeda motor.”

Obrolan yang mungkin agak kurang pas ini menjadi topik bahasan kami ketika duduk-duduk di tepi Kawasan Libra di episentrum Kota Merauke. Kawasan Libra diambil dari singkatan Lingkaran Brawijaya yang notabene merupakan perempatan terbesar di kota ini, kurang lebih inilah Bundaran Hotel Indonesia bagi Merauke.

Perkembangan ekonomi Merauke menjadi magnet tersendiri bagi kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Masuknya orang-orang dari kabupaten sebelah, seperti Mappi dan Boven Digoel, ke tanah ini menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang baru. Demikian pula semakin banyaknya para pencari penghidupan dari Jawa dan Sulawesi membuat permasalahan di Merauke menjadi semakin kompleks.

“Untuk penduduk asli Merauke sendiri, Suku Marind, sebenarnya tidak ada masalah,” terang Gita yang sudah sepuluh tahun tinggal di Merauke semenjak pindah dari Kupang, “Orang yang sudah lama di sini juga bisa menyesuaikan diri. Tetapi yang baru-baru ini datang, agak mengkhawatirkan.”

Entah benar atau terlalu paranoid yang jelas Astrid hanya menertawakan penjelasan temannya tersebut. Menurutnya, selama ini Merauke masih aman-aman saja terlepas dari satu dua insiden yang baru saja terjadi.

Kami bertiga meninggalkan Kawasan Libra, memacu sepeda motor menuju ke bagian selatan kota. Merauke memang selalu ramai dengan banyak kendaraan yang berseliweran. Dilihat dari masuknya merk-merk internasional seperti Swiss-Belhotel dan Kentucky Fried Chicken ke kabupaten paling timur ini sebenarnya juga menandakan daya beli masyarakatnya yang tinggi. Inilah magnet yang menarik orang-orang dari berbagai wilayah selatan Papua mengadu nasib di Merauke.

Sepeda motor berhenti di depan hotel saya. Astrid berjanji akan menjemput saya esok untuk menuju ke Sota, “Besok pagi pukul tujuh, saya sudah di sini. Kakak bersiap-siap saja.”