“Ya begini, Mas. Sudah empat bulan ini sepi,” keluh Bu Tantri menjawab pertanyaan saya. Selepas senyum kecilnya tidak mampu menyembunyikan keluh kesah yang membebani dan membekas di gurat-gurat tua di dahinya.
Ketenaran Dieng di jagad pariwisata memang sedikit banyak menggeser skema lapangan kerja penduduknya, dari petani pekebun yang mengelola kebun tanaman pangan, beberapa berubah menjadi perkebunan tanaman hias. Namun ketika pariwisata sedang sepi seperti ini, siapa yang mau membeli tanaman hias?
“Itulah kenapa mulai bulan ini saya kembali jualan sayur, meskipun baru sedikit,” celoteh Bu Tantri sembari menunjuk ke tumpukan paprika yang digantung di depan kiosnya.
Sejatinya, Dieng memang hidup dari sayur mayur dan buah-buahan. Ketika rombongan kolonial datang ke tempat ini pada masa lampau, para londo mendapuk Dieng sebagai sentra sayur dan buah. Bahkan tidak segan-segan mereka melakukan ujicoba dengan mengimpor benih sayur dan buah dari luar untuk ditanam di tanah ini.
Salah satu yang sukses adalah carica. Pepaya gunung yang benihnya dibawa dari Pegunungan Andes di Amerika Latin oleh para pelaut Belanda ternyata mampu tumbuh dan berkembang dengan subur di tanah ini. Contoh lain tentu saja adalah paprika yang sedikit banyak juga terlihat di mana-mana.
“Selebihnya adalah buah lokal,” terang Bu Tantri lagi, “Di sini kita juga sudah menanam belimbing wuluh, jambu, dan nangka. Ada juga yang menanam sengon. Tapi jauh di hutan. Saya sih lebih memilih paprika.”
Sengon adalah pohon yang diambil kayunya. Biasanya untuk tumbuh memakan waktu beberapa tahun dan hasilnya digunakan untuk material pembangunan rumah. Sementara belimbing wuluh, setahu saya, dulu harganya cuma lima puluh rupiah sebiji. Di tengah banyak pilihan seperti ini, saya paham mengapa bagi Bu Tantri paprika terlihat begitu menarik.