Punclut di Awang-Awang

Apabila Kota Bandung adalah sebuah mangkok raksasa, maka Punclut adalah bibir mangkok di Barat Laut. Jika kita tanya penduduk Bandung, maka Punclut lazimnya mereka kenal sebagai sentra nasi merah lantaran di tempat ini ada berjajar kedai-kedai nasi yang tenar dengan menu nasi merahnya.

Selebihnya Punclut hanyalah sebuah kesunyian di atap kota. Dari atas perbukitan ini, dengan suasana desa dan pohon-pohon yang senantiasa merimbuni, kita dapat menyaksikan pembangunan Kota Bandung berdentum di bawah sana. Punclut sendiri seakan menjadi bagian yang berbeda dari Kota Bandung, sepi senyap dengan jalanan kecil dan bangunan seadanya.

Semasa kuliah tempat ini menjadi salah satu tempat pembuangan untuk menyepikan diri. Berkendara bersama Jeremy dari Kota Bandung menuju tataran Lembang, kemudian turun melalui jalur alternatif yang memangkas Punclut tepat di tengah-tengahnya. Dari sini turunan yang curam berbaur dengan pemandangan spektakuler Kota Kembang yang terhampar luas di bawah sana tiada terhalang suatu apapun.

“Berhenti dulu di sini,” pinta saya kepada Jeremy yang langsung menepikan motornya di tepi jurang, “Saya sering lewat tempat ini tetapi belum pernah berfoto. Numpang singgah dulu ya untuk ambil beberapa gambar. Siapa tahu nanti saya bisa menulis tentang Punclut di blog.”

Entah apa yang mau saya tulis. Sebenarnya Punclut tidak biasa, namun karena saking seringnya melintasi daerah ini, terasa agak janggal ketika harus menemukan keistimewaan dari tanah ini selain lokasinya yang ada di puncak kota.

Belum pukul tiga sore, Jeremy dan saya melanjutkan perjalanan turun. Roda sepeda motor menggelinding begitu saja membelah aspal mulus dataran tinggi Bandung. Sementara di atas sana arak-arakan awan hitam terlihat mulai memayungi kota.