Tarakan adalah tragedi bagi Australia, kenang Paul Stanley dalam bukunya. Hidup dua ratus anak muda Australia berakhir di ladang darah ini pada penghujung Perang Dunia II. Walaupun pertempuran balas dendam tersebut dimenangkan oleh sekutu, harga yang harus dibayar dinilai tidak sepadan dengan hasil yang mereka dapatkan.
Depresi dan frustrasi tergambar jelas dalam catatan Stanley yang saya genggam di sepanjang perjalanan dari Juwata itu. Sejarah bicara lebih banyak tentang kota ini daripada yang terlihat secara kasat mata.
Tiga tahun setelah Jepang merebut tanah ini dari Belanda, Tarakan menjadi medan laga bagi Jepang dan Australia. Sedikit saja artefak peperangan yang meruntuhkan moral serdadu Australia ini tersimpan rapi di Museum Rumah Bundar, berdampingan dengan Gedung DPRD Tarakan. Australia membangun rumah ini sebagai tempat tinggal tentaranya hanya sesaat setelah mereka mengusir Jepang.
Siang itu, pintunya terkunci rapat. Selebihnya singup. Tidak ada orang di sana. Tujuh dekade lewat, jejak Perang Dunia di kota ini hanyalah sebatas monumen. Hidup di Tarakan terus berjalan, bahkan mungkin sudah setengah abai dengan masa lalunya.